RESUME
ARTIKEL
“SEKALI
LAGI TENTANG KOMIK”
Oleh
Drs.
Jajang Suryana, M.Sn.
di Resume oleh
Ni Komang Tirta Yoga Pramoda Wardani (1111031203)
Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pemikiran manusia juga ikut berkembang ke arah yang
lebih kompleks. Pengertian komik seperti yang
diungkapkan para penyusun Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pengertian komik sebagai "cerita
bergambar yang umumnya mudah dicerna dan
lucu" (Moeliono, djp., 1990: 452). Pada dasarnya komik adalah semua jenis
buku cerita yang dilengkapi gambar. Komik bukan cergam (cerita bergambar).
"Dalam cergam, gambar berperan sebagai ilustrasi, pelengkap tulisan,
sehingga sebetulnya tanpa hadirnya gambarpun cerita masih bisa dinikmati
pembacanya" (Masdiono, 1988: 9). Jadi lebih tepatnya, komik adalah gam-cer
(gambar bercerita).
Sejarah gambar
cerita di manca negara menurut hasil
penafsiran para ahli, telah ada sejak masa prasejarah. Gambar-gambar yang
menghiasi dinding-dinding gua di Gua Lascaux, Perancis Selatan atau di Gua
Lelang-Leang, Sulawesi Selatan, tulisan hieroglyph
di dinding kuil Mesir, piktograf suku-suku Indian di Amerika, maupun
goresan-goresan gambar pada tebing di Irian Jaya, adalah gambar yang
bercerita. Wayang dikenal pula pernah mengalami masa gambar cerita. Gambar
pada daun lontar yang dikenal dengan sebutan prasi, menjadi bukti yang sama tentang gambar cerita masa
lalu. (Jakarta-Jakarta, No. 99,
1988: 18).
Dari tahun ke tahun terjadi kecenderungan baru di
Amerika, tahun 1910-an terbitnya komik yang lebih intelektual dan di tahun
1924-an kecenderungan itu berubah, ke arah cerita kemasyarakatan. Tampaknya,
kini komik dengan berbagai tema cerita muncul secara berbarengan dari para
pekomik Jepang. Dari komik keluaran Jepang ternyata telah mengilhami para
pekomik muda Indonesia.
Akan tetapi
kini buku komik tidak semata berisi cerita gambar lucu dan mudah dicerna.
Cerita komik masa kini banyak yang menggambarkan kekerasan keruwetan,
kebengisan, kesadisan, bahkan kecabulan. Masing-masing perusahaan komik dari
masing-masing Negara memiliki ciri khas dalam pembuatan komik bahkan dalam satu
Negara bisa saja memiliki perusahaan komik lebih dari satu dan masing-masing
perusahaan memiliki gambaran karakter-karakter tokoh yang berbeda-beda pada isi
komik.
Komik-komik buatan perusahaan Jepang memang sangat beragam, tema ceritanya
terdiri atas cerita untuk anak-anak, cerita untuk anak tetapi ditujukan untuk
orang dewasa, cerita remaja, dan cerita orang dewasa murni. Kini, sudah banyak
perusahaan komik maupun film kartun, yang memproduksi karya senimannya,
khusus untuk konsumsi orang dewasa. Tetapi, karena anggapan umum bahwa
komik maupun kartun adalah untuk anak-anak, begitu banyak orang tua yang
kurang memperhatikan anak-anak pada saat membaca komik maupun menonton
film-film kartun untuk orang dewasa. Dalam penayangan film kartun bisa saja
terdapat banyak adegan-adegan yang pada usia anak-anak belum sepantasnya untuk
dipertontonkan.
Di Indonesia
belum tercatat kasus menggemparkan akibat pengaruh komik, hal ini terkait
dengan masih rendahnya minat baca masyarakat kita. Namun kini, setelah
komik-komik asing dimunculkan lengkap dengan film animasi cerita yang sama di
televisi, video game, play station,
x-box, video compact disk (VCD), game personal computer, dan yang lebih
memasyarakat yaitu game dalam telesel (telefon seluler) minat “pembaca” muda
Indonesia tampaknya mulai bangkit. Akibat langsung dari film animasi dan lebih
khusus komik bisa tampak dari kesukaan siswa sekolah dasar mengoleksi buku
komik dan meniru-niru bentuk tokoh kesayangan mereka dalam bentuk gambar.
Komik dalam
seni rupa termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni bisa muncul di sana.
Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar, seni ilustrasi, dan
seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi
seni rupa maupun sastra yang enggan memasukkan komik ke dalam kategori seni
utama. Dalam bidang seni rupa, komik tidak dimasukkan ke dalam kelompok karya
seni rupa utama. Begitu pun dalam seni sastra, cerita komik tidak dimasukkan
sebagai karya sastra utama.
Pada teori seni rupa barat, jenis hasil kegiatan maupun
teori tentang seni yang tidak termasuk kelompok seni murni, kurang banyak dibahas.
Padahal dalam teori seni rupa barat mengenal pemilihan kelompok seni rupa dalam
dua bentuk yaitu seni murni (terjemah dari pure
art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied
art) atau tergolong seni remeh (minor
art).
Yang
termasuk kategori seni remeh banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa
di luar kelompok seni murni. Sangat sulit sekali kita menemukan buku
yang isinya merupakan bahasan mendalam tentang seni-seni terapan ini yang
digandengkan dengan bahasan seni murni. Komik, sebagai kelompok seni remeh,
berada pada posisi tersebut, posisi yang kurang diperhitungkan keberadaannya.
Beda halnya dengan sikap penulis buku antropologi seni. Para penulis buku ini
tidak memilah seni rupa berdasarkan murni-terap atau utama-remeh. Semua
jenis seni rupa dibahas secara lengkap sebagai kajian yang memiliki
kesamaan posisi.
Teori seni rupa barat pada awalnya
diciptakan oleh pelaku seni rupa kota dengan tujuan untuk membedakan kelas
sosial pelaku seni rupa antara orang desa (non akademisi/pedesa) dan orang kota
(akademisi/pekota). Dari segi penamaannya pun juga mengalami perbedaan, dimana
pelaku seni rupa di kota menyebut
dirinya sebagai artist (seniman) sedangkan orang desa mereka sebut
sebagai perajin (artisan). Padahal dari karya seni yang dihasilkan oleh pelaku
seni rupa di desa tidak kalah bagusnya dengan karya seni yang dihasilkan oleh
pelaku seni rupa kota. Hanya saja dari segi pendidikan pelaku seni rupa kota
mendapat pendidikan khusus dan pelaku seni rupa di desa tidak mendapat
pendidikan khusus. Teori seni rupa Barat dengan segala
latar belakang kondisi budayanya, diserap secara lengkap oleh para ahli teori
seni rupa Indonesia. Begitu di Barat, begitu juga di lingkungan
masyarakat seni Indonesia. Pekomik, dalam teori seni rupa Indonesia hanya
dihargai sebagai perajin saja, yaitu pelaku seni yang karyanya terkait dengan
urusan pesanan, jual-beli, dan sejenisnya.
Irama perkembangan masing-masing anak berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya, hal inilah menjadi penyebab terjadinya perbedaan intensitas
perhatian anak terhadap kegiatan menggambar. Pada tahapan tertentu anak-anak
usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Pada usia 5-9 tahun anak-anak
suka meniru gambar dalam buku bacaan, ataupun gambar tokoh-tokoh cerita yang
sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada usia
2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya.